Kamis, 04 Juli 2013

UAS SEJARAH KEBUDAYAAN



KESENIAN BUAYA PUTIH
DERI PRIANA
Seni tradisional yang berkembang di kampung Curugdahu Desa Kadubeureum Kecamtan Padarincang Kabupaten Serang. Iringan ngarak Buaya putih biasannya dilakukan dalam kegiatan mengirimkan  bahan-bahan keperluan hajatan yang menjadi ciri khas daerah setempat, dimana keperluan hajatan ditata sedemikian rupa pada sebatang pohon bambu yang dibentuk rangka mirip seekor buaya, dengan panjang mencapai 8 sampai 10 meter, dengan dihiasi janur kelapa. Buaya putih dimainkan secara keseluruhan oleh 40 orang, dimana 4 orang pemain laki-laki yang bertugas memegang umbul-umbul sebagai pembatas barisan, 2 orang dibagian paling depan dan 2 orang lagi sebagai pemegang spanduk,  1 orang sebagai penarik penonton, dibelakang 10 orang sebagai penari mojang desa, berdiri sepasang pengantin yang diapit kedua orang tua yang dilengkapi dengan seorang pembawa payung kebesaran. Dibagian tengah terdapat 4 orang sebagai pemikul Buaya putih yang harus mampu memainkan Buaya Putih dengan baik, dibawah kendali seorang pawang buaya yang bernama Ma Ijah, tarian Buya Putih ini diiringi oleh 14 orang pemain musik Rudat, dengan alat yang terdiri dari : Gending Paria ria, kemplongan, Gembrung.[1]

Kesenian Tradisional Buaya Putih Padarincang

 


                                                          http://youtu.be/0FapUTc5RSY

Kesenian Tradisional Buaya Putih di Padarincang khususnya di Kampung Curugdahu Desa Kadubeureum adalah kearifan lokal budaya yang masih tersisa diwilayah tersebut. Berbeda dengan dibeberapa Kecamatan yang ada di Kabupaten Serang, Kesenian Tradisional Buaya Putih di Kampung Curugdahu sampai saat ini masih terpelihara dan terjaga malah semakin banyak perkembangan. Terbukti dengan masih dilakukannya acara pertunjukan setiap bulan sekali minggu keempat dalam acara latihan yang bertempat disanggar seni. Pertunjukan tersebut biasanya dilakukan dalam acara mapag panganten (pernikahan), khitanan, peresmian gedung, penyambutan tamu, pembukaan perlombaan, ikhtifalan (lepas kenang anak sekolah).
             Asal-Usul Kesenian Tradisional Buaya Putih di Kampung Curugdahu Desa Kadubeure Kecamatan Padarincang.
Kehidupan masyarakat pedesaan memang sangat unik apabila dibandingkan dengan kehidupan di kota ditunjang dengan lingkungan alam yang asri serta memegang tradisi yang kuat, tercipta suasana kekeluargaan yang akrab dan harmonis di karenakan masyarakat pedesaan saat ini masih senang mendengarkan cerita-cerita tentang dongeng, cerita sejarah serta bersifat aktual lainnya. Nilai budaya inilah yang perlu kita tumbuh dan kembangkan sehingga tidak terlepas dari keaslian dan ciri khasnya, sebab nilai budaya adalah nilai abstrak yang sangat mendasar dan dianggap penting dalam kehidupan manusia yang meliputi hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan alam, serta hubungan manusia dengan waktu dan pekerjaannya.
Alam Padarincang yang indah dikelilingi oleh pegunungan terbentang pesawahan yang luas dan subur dengan panorama yang sangat menawan serta memiliki udara yang nyaman dan segar. Wilayah Kecamatan Padarincang terletak 37 KM dari Ibukota Kabupaten Serang wilayah ini adalah sebagai paru-parunya Ibukota yang terenal dengan beras kewalnya serta buah durian yang lezat rasanya tak ketinggalan pepes belut yang sangat menggoyang lidah.
Dikawasan Kecamatan Padarincang terdapat kawasan hutan lindung dan suaka margasatwa serta Rawa Dano yang sangat terkenal dengan ke angkerannya. Kesenian Tradisional Buaya Putih ada sekitar tahun 70-an dan sebelumnya bernama Kesenian Buaya Mangap. Konon katanya kepalanya terbuat dari pelapah rumbia (Kiray) dalam bahasa setempat, dua pelapah tersebut disatukan dibuat menyerupai kepala buaya maka hasilnya kepala buaya atau mulut buaya itu hanya bisa menganga (mangap) dalam bahasa setempat, dengan demikian disebutlah oleh masyarakat Kampung Curugdahu Desa Kadubeureum Kecamatan Padarincang menyebutnya buaya mangap.
Menurut Bapak Basri kelahiran tahun 1936 dan Bapak Sanukri kelahiran 1933 sejak anak-anak dia sudah tahu ada kesenian tersebut, dan dia bercerita bahwa sejak kecil sudah mengenal dan melihatnya Kesenian Buaya Mangap itu, Buaya Putih yang sekarang dikenal masyarakat luas itu semata-mata  karena hikmah adanya ulang tahun hari jadi Kabupaten Serang, pada tahun itu 1992 – 1993 diadakan lomba seni helaran tradisional se Kabupaten Serang, dengan hasil kesepakatan masyarakat Curugdahu dan aparat Kecamatan Padarincang maka nama Buaya Mangap itu diperhalus diganti menjadi Buaya Putih, konon katanya kalau mangap berkesan kurang seninya dan berkesan tidak baik. Atas kuasa Allah Alhamdulillah hasil keseriusan para pemain atas bimbingan Surya Permana, S.Pd kelahiran tahun 1956 saat ini pensiunan KCD Padarincang. Kesenian ini tidak termasuk mitos, Kesenian Buaya Putih ini satu-satunya yang ada di Kecamatan Padarincang sebagai seni yang diwariskan oleh para leluhurnya, mengenai pertunjukan Kesenian Tradisional Buaya Putih ini tidak bisa asal tunjuk jari untuk memainkan, karena selain pemain itu harus dilatih terlebih dahulu juga harus tahu nada musik yang dimainkan oleh pemusik rudat sehingga langkah demi langkah saat berjalan pun mengikuti irama rudat dan bedug besar, selain itu pula Kesenian Buaya Putih ini termasuk benda-benda yang dipasang di kerangka buaya tersebut berfungsi sebagai sarana penghantar yang akan dibawa ke pihak mempelai putri pada saat perkawinan sebagai bentuk seserahan dari pihak mempelai pengantin pria yang tentunya ditujukan kepada mempelai wanita.
Barang-barang atau benda lain yang akan diberikan kepada mempelai putri, dikemas di atas kerangka buaya putih itu atau disimpan di punggung buaya, dan bentuk kepala buaya atau mulut buaya yang menganga itu semata-mata bukan sebuah hiasan, melainkan  untuk menyimpan bekakak ayam yang akan digunakan pada saat huap lingkung (saling menyuapi antara mempelai pria dan wanita).
Para tokoh masyarakat Curugdahu (Bapak Basri) yang di wawancarai pada tanggal 28 November 2010 menjelaskan bahwa Kesenian Tradisional Buaya Putih merupakan seni asli dari Masyarakat Padarincang khususnya Curugdahu. Lahirnya seni ini tidak pasti atau tidak ada yang tahu sebab ketika mereka lahir, seni ini sudah ada. Prediksi lahirnya seni ini menurut narasumber (Bapak Basri) sekitar tahun 70-an. Masyarakat Padarincang sudah mengenalnya.
Banyak versi mengenai asal-usul Kesenian Tradisional Buaya Putih di Kampung Curugdahu dan sekitarnya. Salah satunya beranggapan bahwa selain digunakan khusus hajatan pengantinan ada juga yang berpendapat saat hajatan khitanan penyambutan tamu, peresmian gedung, pembukaan perlombaan dan pawai ta’aruf, memanfaatkan seni ini dengan cara memasukan ajaran-ajaran islam kedalam naskah wawacan (bacaan), namun yang lebih diperkuat dalam kesenian ini kebersamaannya (gotong royong) terlihat ketika satu hari sebelum merayakan mengarak pengantin (ngiring panganten) bahasa setempat masyarakat berkumpul untuk membantu pembuatan kerangka buaya tersebut, sehingga masyarakat tanpa diundangpun langsung berdatangan saling membantu ada juga yang memberi bahan-bahan yang dibutuhkan untuk serah-serahan sesuai dengan kemampuan masyarakat itu sendiri.


Unsur Wawacan (bacaan)
Wawacan (bacaan) yang dibacakan dalam pertunjukan Kesenian Tradisional Buaya Putih terdiri dari pembacaan salam-salam Assalamu’alaikum dan dibacaan Salawat pembua ngarak pengantin, dan terakhir dibacakan do’a kidung sawer panganten ( pengantin ) namun, hanya beberapa wawacan (bacaan) yang sering dibacakan hal ini berkaitan dengan dua tata cara pembacaan awal dan akhir, artinya sebelum berangkat dibacakan salam-salam dan salawat dan yang terakhir setelah selesai acara dibacakan kidung sawer panganten atau pepeling ( pengingat ) oleh juru kawih.



* MahasiswaPendidikansejarah STKIP SetiabudhiRangkasbitung (4322310030012)
[1] Di akses oleh Deri Priana, buayaputih-enday.blogspot.com, www.disbudpar.bantenprov.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar