KESENIAN BUAYA PUTIH
DERI PRIANA
Seni tradisional yang berkembang di kampung
Curugdahu Desa Kadubeureum Kecamtan Padarincang Kabupaten Serang. Iringan
ngarak Buaya putih biasannya dilakukan dalam kegiatan mengirimkan
bahan-bahan keperluan hajatan yang menjadi ciri khas daerah setempat, dimana
keperluan hajatan ditata sedemikian rupa pada sebatang pohon bambu yang
dibentuk rangka mirip seekor buaya, dengan panjang mencapai 8 sampai 10 meter,
dengan dihiasi janur kelapa. Buaya putih dimainkan secara keseluruhan oleh 40
orang, dimana 4 orang pemain laki-laki yang bertugas memegang umbul-umbul
sebagai pembatas barisan, 2 orang dibagian paling depan dan 2 orang lagi
sebagai pemegang spanduk, 1 orang sebagai penarik penonton, dibelakang 10
orang sebagai penari mojang desa, berdiri sepasang pengantin yang diapit kedua
orang tua yang dilengkapi dengan seorang pembawa payung kebesaran. Dibagian
tengah terdapat 4 orang sebagai pemikul Buaya putih yang harus mampu memainkan
Buaya Putih dengan baik, dibawah kendali seorang pawang buaya yang bernama Ma
Ijah, tarian Buya Putih ini diiringi oleh 14 orang pemain musik Rudat, dengan
alat yang terdiri dari : Gending Paria ria, kemplongan, Gembrung.[1]
Kesenian Tradisional Buaya Putih Padarincang
http://youtu.be/0FapUTc5RSY
Kesenian Tradisional Buaya Putih di Padarincang khususnya di Kampung Curugdahu Desa Kadubeureum adalah kearifan lokal budaya yang masih tersisa diwilayah tersebut. Berbeda dengan dibeberapa Kecamatan yang ada di Kabupaten Serang, Kesenian Tradisional Buaya Putih di Kampung Curugdahu sampai saat ini masih terpelihara dan terjaga malah semakin banyak perkembangan. Terbukti dengan masih dilakukannya acara pertunjukan setiap bulan sekali minggu keempat dalam acara latihan yang bertempat disanggar seni. Pertunjukan tersebut biasanya dilakukan dalam acara mapag panganten (pernikahan), khitanan, peresmian gedung, penyambutan tamu, pembukaan perlombaan, ikhtifalan (lepas kenang anak sekolah).
Asal-Usul Kesenian Tradisional Buaya
Putih di Kampung Curugdahu Desa Kadubeure Kecamatan Padarincang.
Kehidupan masyarakat pedesaan memang sangat unik apabila
dibandingkan dengan kehidupan di kota ditunjang dengan lingkungan alam yang
asri serta memegang tradisi yang kuat, tercipta suasana kekeluargaan yang akrab
dan harmonis di karenakan masyarakat pedesaan saat ini masih senang
mendengarkan cerita-cerita tentang dongeng, cerita sejarah serta bersifat
aktual lainnya. Nilai budaya inilah yang perlu kita tumbuh dan kembangkan
sehingga tidak terlepas dari keaslian dan ciri khasnya, sebab nilai budaya
adalah nilai abstrak yang sangat mendasar dan dianggap penting dalam kehidupan
manusia yang meliputi hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia,
manusia dengan alam, serta hubungan manusia dengan waktu dan pekerjaannya.
Alam Padarincang yang indah dikelilingi oleh pegunungan terbentang
pesawahan yang luas dan subur dengan panorama yang sangat menawan serta
memiliki udara yang nyaman dan segar. Wilayah Kecamatan Padarincang terletak 37
KM dari Ibukota Kabupaten Serang wilayah ini adalah sebagai paru-parunya
Ibukota yang terenal dengan beras kewalnya serta buah durian yang lezat rasanya
tak ketinggalan pepes belut yang sangat menggoyang lidah.
Dikawasan Kecamatan Padarincang terdapat kawasan hutan lindung dan
suaka margasatwa serta Rawa Dano yang sangat terkenal dengan ke angkerannya.
Kesenian Tradisional Buaya Putih ada sekitar tahun 70-an dan sebelumnya bernama
Kesenian Buaya Mangap. Konon katanya kepalanya terbuat dari pelapah rumbia (Kiray)
dalam bahasa setempat, dua pelapah tersebut disatukan dibuat menyerupai kepala
buaya maka hasilnya kepala buaya atau mulut buaya itu hanya bisa menganga
(mangap) dalam bahasa setempat, dengan demikian disebutlah oleh masyarakat
Kampung Curugdahu Desa Kadubeureum Kecamatan Padarincang menyebutnya buaya
mangap.
Menurut Bapak Basri kelahiran tahun 1936 dan Bapak Sanukri
kelahiran 1933 sejak anak-anak dia sudah tahu ada kesenian tersebut, dan dia
bercerita bahwa sejak kecil sudah mengenal dan melihatnya Kesenian Buaya Mangap
itu, Buaya Putih yang sekarang dikenal masyarakat luas itu semata-mata karena hikmah adanya ulang tahun hari jadi
Kabupaten Serang, pada tahun itu 1992 – 1993 diadakan lomba seni helaran tradisional
se Kabupaten Serang, dengan hasil kesepakatan masyarakat Curugdahu dan aparat
Kecamatan Padarincang maka nama Buaya Mangap itu diperhalus diganti menjadi
Buaya Putih, konon katanya kalau mangap berkesan kurang seninya dan berkesan
tidak baik. Atas kuasa Allah Alhamdulillah hasil keseriusan para pemain atas
bimbingan Surya Permana, S.Pd kelahiran tahun 1956 saat ini pensiunan KCD
Padarincang. Kesenian ini tidak termasuk mitos, Kesenian Buaya Putih ini
satu-satunya yang ada di Kecamatan Padarincang sebagai seni yang diwariskan
oleh para leluhurnya, mengenai pertunjukan Kesenian Tradisional Buaya Putih ini
tidak bisa asal tunjuk jari untuk memainkan, karena selain pemain itu harus
dilatih terlebih dahulu juga harus tahu nada musik yang dimainkan oleh pemusik
rudat sehingga langkah demi langkah saat berjalan pun mengikuti irama rudat dan
bedug besar, selain itu pula Kesenian Buaya Putih ini termasuk benda-benda yang
dipasang di kerangka buaya tersebut berfungsi sebagai sarana penghantar yang
akan dibawa ke pihak mempelai putri pada saat perkawinan sebagai bentuk
seserahan dari pihak mempelai pengantin pria yang tentunya ditujukan kepada
mempelai wanita.
Barang-barang atau benda lain yang akan diberikan kepada mempelai
putri, dikemas di atas kerangka buaya putih itu atau disimpan di punggung buaya,
dan bentuk kepala buaya atau mulut buaya yang menganga itu semata-mata bukan
sebuah hiasan, melainkan untuk menyimpan
bekakak ayam yang akan digunakan pada saat huap lingkung (saling menyuapi
antara mempelai pria dan wanita).
Para tokoh masyarakat Curugdahu (Bapak Basri) yang di wawancarai
pada tanggal 28 November 2010 menjelaskan bahwa Kesenian Tradisional Buaya
Putih merupakan seni asli dari Masyarakat Padarincang khususnya Curugdahu.
Lahirnya seni ini tidak pasti atau tidak ada yang tahu sebab ketika mereka
lahir, seni ini sudah ada. Prediksi lahirnya seni ini menurut narasumber (Bapak
Basri) sekitar tahun 70-an. Masyarakat Padarincang sudah mengenalnya.
Banyak versi mengenai asal-usul Kesenian Tradisional Buaya Putih di
Kampung Curugdahu dan sekitarnya. Salah satunya beranggapan bahwa selain
digunakan khusus hajatan pengantinan ada juga yang berpendapat saat hajatan
khitanan penyambutan tamu, peresmian gedung, pembukaan perlombaan dan pawai
ta’aruf, memanfaatkan seni ini dengan cara memasukan ajaran-ajaran islam
kedalam naskah wawacan (bacaan), namun yang lebih diperkuat dalam kesenian ini
kebersamaannya (gotong royong) terlihat ketika satu hari sebelum merayakan
mengarak pengantin (ngiring panganten) bahasa setempat masyarakat berkumpul
untuk membantu pembuatan kerangka buaya tersebut, sehingga masyarakat tanpa
diundangpun langsung berdatangan saling membantu ada juga yang memberi
bahan-bahan yang dibutuhkan untuk serah-serahan sesuai dengan kemampuan
masyarakat itu sendiri.
Unsur Wawacan (bacaan)
Wawacan (bacaan) yang dibacakan dalam pertunjukan Kesenian
Tradisional Buaya Putih terdiri dari pembacaan salam-salam Assalamu’alaikum dan
dibacaan Salawat pembua ngarak pengantin, dan terakhir dibacakan do’a kidung
sawer panganten ( pengantin ) namun, hanya beberapa wawacan (bacaan) yang
sering dibacakan hal ini berkaitan dengan dua tata cara pembacaan awal dan
akhir, artinya sebelum berangkat dibacakan salam-salam dan salawat dan yang
terakhir setelah selesai acara dibacakan kidung sawer panganten atau pepeling (
pengingat ) oleh juru kawih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar