BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Selama 5000 tahun sejarah yang
tercatat, pendidikan di rumah, gereja, atau sekolah telah merupakan cara
penting untuk menyebarkan tradisi-tradisi dan pengetahuan praktis kepada
generasi-generasi yang berikutnya. Hal ini dapat dicontohkan oleh binatang yang
mengajarkan kebiasaan-kebiasaan dan ketrampilan-ketrampilan kepada anak-anak
mereka melalui peniruan dan disiplin karena belajar adalah perlu bagi
kelangsungan hidup dalam satu lingkungan yang bermusuhan. Akan tetapi hanya
manusia yang telah menemukan berbagai sistem pendidikan dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhan yang sangat penting dan mencapai tujuan pribadi maupun
tujuan sosial.
Perkembangan bahasa telah
memungkinkan manusia dalam masyarat yang paling primitif sekalipun untuk
menambah peniruan dan disiplin dengan pelajaran-pelajaran lisan tentang
keselamatan dan tugas-tugas ekonomi. Akan tetapi bagi para penguasa yang
terdorong oleh ambisi politik mereka menggunakan program-program pendidikan
untuk memajukan kepentingan-kepentingan kebangsaan mereka. Para pemimpin agama
dan para ahli filsafat yang megabdi kepada cita-cita moral telah berusaha untuk
menuntun masyarakat mereka ke arah standar-standar hidup dan kebudayaan yang
tinggi melalui pendidikan.
B. Rumusan
Masalah
Setelah adanya pemaparan mengenai latar bekalang masalah diatas
maka dalam makalah ini, pemakalah
mengajukan permasalahan yang akan dibahas pada makalah ini adalah.
1. Bagaimana Dengan Konsep Dasar Pendidikan
2. Bagaimana Perkembangan pendidikan yunani dan romawi
3. Siapa Saja Filsuf - Filsuf Pendidik Yunani
Dan Romawi
C. Tujuan
Penulisan Makalah
Berdasarkan uraian makalah diatas.Maka tujuan dari penulisan makalah iniadalah sebagai berikut:
1. Memperoleh informasi mengenai konsep
dasar pendidikan
2. Memperoleh informasi mengenai Perkembangan pendidikan Yunani Dan Romawi
3.
Memperoleh
informasi mengenai filsuf – filsuf pendidikan Yunani dan Romawi
4. Syarat
untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah pendidikan
D. Sistematika
Penulisan
BAB
I PENDAHULUAN
Bab ini akan menguraikan mengenai latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan makalah, dan sistematika
penulisan makalah.
BAB II PEMBAHASAN
Bab ini mengenai uraian isi makalah.
BAB III PENUTUP
Dalam bab ini berisi tentang kesimpulan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP DASAR PENDIDIKAN
Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan
anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan
(Ngalim Purwanto, 2002:11). Rumusan tentang pendidikan, lebih jauh termuat
dalam UU. No. 20 Tahun 2003, bahwa pendidikan Indonesia bertujuan agar
masyarakat Indonesia mempunyai pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara. Artinya, arah dari proses pendidikan nasional mencakup berbagai aspek
kehidupan diri manusia dan masyarakat untuk survive dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Berbicara masalah pendidikan meliputi cakupan yang cukup luas, bahkan
dalam mendefinisikan pengertian pendidikan juga bervariasi. Ada yang
mengartikan pendidikan sebagai proses yang di dalamnya seseorang mengembangkan
kemampuan, sikap, dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya di lingkungan
masyarakat dimana ia berada. Pendidikan juga dapat diartikan sebagai proses
sosial, di mana seseorang dihadapkan pada kondisi dan pengaruh lingkungan yang
terpilih dan terkontrol (contoh paling nyata sekolah) sehingga yang
bersangkutan mengalami perkembangan secara optimal (Dictionary of Education dalam
T. Sulistyono, 2003).
Dari
beberapa definisi tersebut menunjukkan melihat pendidikan dari sudut pandang
yang berbeda. Yang pertama, melihat dari sudut pandang psikologis, dan yang
kedua dari sudut pandang sosiologis. Banyak sudut pandang untuk dapat
merumuskan pengertian pendidikan sehingga banyak juga definisi tentang
pendidikan. Namun demikian, yang jelas bahwa pendidikan adalah proses untuk
membina diri seseorang dan masyarakat agar dapat survive dalam menjalani
hidupnya.
1.
Aliran-Aliran Dalam Pendidikan
Makna pendidikan sangat luas, dan setiap orang dengan pandangan tertentu
merumuskan arti pendidikan berbeda dari rumusan pendidikan yang dirumuskan
seseorang ahli dengan pandangan yang lain. Begitu pun kalau secara khusus kita
kuatkan dengan proses pendidikan sebagai proses pembinaan peserta didik sebagai
subjek didik. Dalam hal ini memang ada beberapa aliran dalam pendidikan:
a)
Aliran
Nativisme
Tokoh aliran ini adalah Schopenhauer (Jerman: 1788-1860). Aliran ini
berpendapat bahwa perkembangan manusia itu telah ditentukan oleh faktor-faktor
yang dibawa manusia sejak lahir; pembawaan yang telah terdapat pada waktu
dilahirkan itulah yang menentukan hasil perkembangannya. Potensi yang dibawa
sejak lahir atau pembawaan inilah yang sepenuhnya mempengaruhi perkembangan
anak, yang baik akan menjadi baik, dan yang jelek akan menjadi jelek. Menurut
kaum nativisme tersebut, pendidikan tidak dapat mengubah sifat-sifat pembawaan,
sehingga percuma saja kita mendidik, atau dengan kata lain pendidikan tidak
diperlukan. Dalam ilmu pendidikan hal ini disebut pesimisme pedagogis.
b)
Aliran
Empirisme
Tokoh dari aliran ini adalah John Locke (Inggris: 1932-1704). Pandangan
aliran ini berlawanan dengan kaum nativisme, karena berpendapat bahwa dalam
perkembangan anak menjadi manusia dewasa itu ditentukan oleh lingkungannya,
atau oleh pendidikan dan pengalaman yang diterimanya sejak kecil. Menurut
aliran ini, manusia dilahirkan putih bersih seperti kertas putih, tidak membawa
potensi apa-apa. Perkembangan selanjutnya tergantung dari pendidikan dan atau
lingkungannya. Dalam artian, bahwa manusia dapat dididik menjadi apa saja (ke
arah yang baik maupun sebaliknya), menurut kehendak lingkungan atau
pendidiknya. Dalam pendidikan, pendapat kaum empiris ini terkenal dengan nama optimisme
pedagogis. Dalam hal ini pendidik memegang peranan yang sangat penting
dengan menyediakan lingkungan pendidikan dan akan diterima oleh anak sebagai
pengalaman-pengalaman (empiri: pengalaman).
c)
Aliran
Naturalisme
Tokoh aliran ini adalah JJ. Rousseau (Prancis: 1712-1778). Nature artinya
adalah alam atau apa yang dibawa sejak lahir. Hampir senada dengan aliran
nativisme, maka aliran ini berpendapat bahwa pada hakikatnya semua anak
(manusia) sejak dilahirkan adalah baik. Perkembangannya kemudian sangat
ditentukan oleh pendidikan yang diterimanya atau yang mempengaruhinya. Jika
pengaruh/pendidikan itu baik, akan menjadi baik, tapi jika pengaruh itu jelek,
akan jelek pula hasilnya. Seperti dikatakan oleh tokoh aliran ini JJ. Rousseau:
“…semua anak adalah baik pada waktu baru datang dari tangan Sang Pendipta,
tetapi semua menjadi rusak di tangan manusia”. Artinya, anak hendaknya
dibiarkan tumbuh dan berkembang sendiri menurut alamnya, manusia atau
masyarakat jangan banyak mencampurinya.
d)
Aliran
Konvergensi
Tokoh dari aliran ini adalah William Stern (Jerman: 1871-1939), yang
berpendapat bahwa anak sejak lahir telah membawa pembawaan atau potensi-
potensi, namun dalam perkembangan selanjutnya ditentukan bersama baik oleh
pembawaan maupun lingkungan atau pendidikan. Pembawaan tidak akan berkembang
dengan baik jika tidak ada dukungan pendidikan dan atau lingkungan. Sebaliknya
pendidikan dan atau lingkungan tidak akan berhasil baik manakala pada diri anak
tidak ada pembawaan yang mendukungnya. Menurut Stern, pendidikan tergantung
dari pembawaan dan lingkungan, seakan ada dua garis lurus yang menuju ke suatu
titik temu (convergen : menuju ke suatu titik). Aliran konvergensi pada
umumnya dapat diterima secara luas, walaupun masih ada juga beberapa kritik
terhadapnya.
Aliran
konvergensi dikritik sebagai aliran yang cocok untuk hewan dan tumbuh-tumbuhan,
kalau bibitnya baik dan lingkungannya baik maka hasilnya pasti baik. Padahal
bagi manusia hal itu belum tentu, karena masih ada faktor lain yang
mempengaruhi yaitu pilihan atau seleksi dari yang bersangkutan.
B. PERKEMBANGAN PENDIDIKAN YUNANI DAN
ROMAWI
1.
Perkembangan
Pendidikan Yunani
Pendidikan adalah usaha manusia untuk kepentingan manusia. Jadi pada saat
manusia itu ada dan masih ada, pendidikan itu telah dan masih ada pula. Pada
kenyataannya dapat kita telaah bahwa praktek pendidikan dari zaman ke zaman
mempunyai garis persamaan. Garis persamaan atau benang merah pendidikan itu
ialah:
a. Pendidikan
adalah bagian dari kebudayaan yang tidak dapat dipisahkan.
b. Pendidikan
merupakan kegiatan yang bersifar universal.
c. Praktek
pelaksanaan pendidikan memiliki segi-segi yang umum sekaligus memiliki keunikan
(ke-khasan) berkaitan dengan pandangan hidup masing-masing bangsa.
Yunani kuno terbagi menjadi dua, Sparta dan Athena. Penduduk
Sparta disebut bangsa Doria, sedangkan penduduk Athena disebut bangsa Lonia.
Kedua negara tersebut merupakan Polis atau negara kota. Sparta dengan ahli
negaranya Lycurgus, sedang Athena dengan ahli negaranya Solon. Pada kedua
negara tersebut terdapat perbedaan-perbedaan dalam dasar, tujuan, pelaksanaan
pendidikan dan pengajaran. Orang-orang Sparta mementingkan pembentukan jiwa
patriotik yang kuat dan gagah berani (Djumhur, 1976:24).
1)
Sparta
Sparta adalah negara Aristokrasi-militeristis. Dasarnya Undang-undang
Lycurgus (± 900 SM). Ciri pendidikan: pendidikan diselenggarakan oleh negara
dan hanya untuk warga negara merdeka. Pendidikan di Sparta didasarkan atas dua
asas:
a. Anak
adalah milik negara;
b. Tujuan
pendidikan adalah membentuk serdadu-serdadu pembela negara serta warga negara.
Tujuan pendidikan Sparta adalah membentuk warga negara yang siap membela
negara (membentuk tentara yang gagah berani). Ciri-ciri pendidikannya adalah :
a. Pendidikan
diperuntukkan hanya bagi warga negara yang merdeka (bukan budak);
b. Lebih
mengutamakan pendidikan jasmani.
c. Anak-anak
yang telah mencapai umur 7 tahun diasramakan.
Pelaksanaan pendidikan : anak-anak dibiasakan menahan lapar, tidur di
atas bantal rumput, dan pada musim dingin hanya memakai mantel biasa saja.
Sifat-sifat yang harus dimiliki tentara, seperti keberanian, ketangkasan,
kekuatan, cinta tanah air, dan tunduk pada disiplin selalu mendapat perhatian.
Sebaliknya, pelajaran seperti kesenian dianggap tidak terlalu penting dan
diabaikan. Musik dan nyanyian hanya dijadikan alat untuk mempengaruhi jiwa
dalam melaksanakan dinas ketentaraan (A. Ahmadi, 1987:162).
2)
Athena
Athena adalah negara demokrasi. Dasar yang dipakai adalah: Undang-undang
Solon (± 594 SM). Berbeda dengan Sparta, tujuan pendidikan Athena adalah:
membentuk warganegara dengan jalan pembentukan jasmani dan rohani yang harmonis
(selaras). Ciri-ciri pendidikan di Athena adalah:
a. Pendidikan
diselenggarakan oleh keluarga dan sekolah;
b. Sekolah
diperuntukkan bagi seluruh warga negara (bebas).
Materi atau bahan pelajaran terbagi atas dua bagian: gymnastis dan
muzis. Gymnastis untuk pembentukan jasmani, sedangkan muzis untuk
pembentukan rohani. Pendidikan jasmani diberikan di Palestra, tempat bergulat,
lempar cakram, melompat, lempar lembing (pentathlon atau pancalomba).
Pembentukan muzis meliputi: membaca, menulis, berhitung, nyanyian, dan
musik. Dalam perkembangannya dalam pembentukan muzis akan dipelajari artes
liberales atau “seni bebas”, yang terdiri dari:
a) trivium
(tiga ajaran), yaitu: grammatica; rhetorica (pidato); dan dialektika
yaitu ilmu mengenai cara berpikir secara logis dan bertukar pikiran secara
ilmiah;
b) quadrivium
(empat ajaran), yang terdiri dari: arithmetica (berhitung); astronomia
(ilmu bintang); geometria (ilmu bumi alam dan falak); musica.
Dalam membaca, diberikan dengan metode mengeja (sintetis murni); dan
menulis dilakukan pada batu tulis yang dibuat dari lilin (Djumhur: 1976).
Pendidikan warganegara sangat diutamakan di Yunani, terutama di Sparta.
Segala kepentingan negara diletakkan di atas kepentingan individu
(perseorangan). Dalam perkembangannya muncul keinginan untuk mendapat kebebasan
pribadi, terutama dari kaum sofist.
Kaum sofist adalah kelompok orang yang tidak mengakui kebenaran mutlak
dan berlaku umum. Mereka berpendapat, bahwa manusia adalah ukuran segala
sesuatu (anthroposentris, anthropos: manusia; sentris:
pusat). Sesuatu dianggap benar kalau itu menimbulkan keuntungan atau
kemenangan. Kebenaran bersifat relatif (tergantung kapan dan siapa yang
melihat).
Akibat dari ajaran sofisme tersebut adalah, turunnya nilai-nilai kebudayaan,
merosotnya nilai-nilai kejiwaan, pembentukan harmonis antara jiwa dan raga
dikesampingkan dan sebagainya. Orang mencari pengetahuan dengan tujuan untuk
mencapai kebendaan semata (intelektual-materialistis). Kepentingan negara harus
tunduk kepada kepentingan perseorangan. Pendidikan kecerdasan lebih penting
daripada pendidikan agama dan kesusilaan.
2.
Perkembangan Pendidikan Romawi
Pendidikan Romawi tampak lebih sederhana dan lebih disesuaikan dengan
kebutuhan negara jika dibandingkan dengan pendidikan Yunani. Roma yang pada
awalnya adalah negara petani, mengalami dua masa yang masing-masing berbeda
baik tujuan maupun alat-alat pendidikannya, yaitu jaman Romawi lama dan jaman
Romawi baru (Hellenisme).
1)
Jaman Romawi Lama
Pendidikan pada jaman ini bertujuan membentuk warganegara yang setia dan
berani, siap berkorban membela kepentingan tanah airnya. Diutamakan pembentukan
warganegara yang cakap sebagai tentara. Pendidikan diselenggarakan oleh
keluarga, dan merupakan pendidikan bangsawan bukan pendidikan rakyat. Materi
pelajarannya meliputi membaca, menulis, dan berhitung. Pendidikan jasmani dan
kesusilaan menjadi prioritas. Hasil pendidikan dinilai baik, karena:
a) Kebiasaan
aturan dalam rumah tangga yang keras, ayah mempunyai kekuasaan mutlak dan
anak-anak patuh pada perintahnya;
b) Kedudukan
ibu hampir sama dengan kedudukan ayah, ia menjadi pemelihara rumah tangga;
c) Agama
mempunyai pengaruh besar, orang romawi percaya dikelilingi oleh dewa-dewanya;
d) Anak-anak
mempelajari undang-undang negaranya, menganggapnya sakti dan tidak melanggar.
2)
Jaman Romawi Baru (Helenisme)
Hellenisme adalah aliran kebudayaan yang diciptakan oleh ahli-ahli
filsafat Yunani (Hellas). Sejak saat itu bangsa Romawi mulai menyadari arti
penting ilmu pengetahuan. Dengan demikian maka tujuan pendidikan mengalami
perubahan: untuk pembentukan manusia yang harmonis. Pendidikan rasio dan
kemanusiaan (humanitas) menjadi prioritas. Organisasi sekolah yang dibentuk
meliputi:
a) Sekolah
rendah : pelajarannya membaca, menulis, dan berhitung. Musik dan menyanyi tidak
mendapat perhatian;
b) Sekolah
menengah : pelajarannya ilmu pasti, ilmu filsafat, dan kesusasteraan klasik;
c) Sekolah
tinggi : diberikan keahlian pidato, hukum, dan undang-undang.
Pendidikan
menjadi kehilangan sifat praktisnya dan rakyat Roma mulai berpedoman kepada
filsafat. Pada perkembangan selanjutnya Romawi terbawa oleh arus aliran
filsafat yang berdampak cukup besar bagi pendidikan Roma, yaitu Epicurisme
(dipelopori Epicurus 341-270 SM), dan aliran Stoa (dipelopori Zeno 336-264 SM).
Aliran Epicurisme berpendapat hahwa kebahagian akan terwujud manakala manusia
menyatu dengan alam. Aliran Stoa berpendapat bahwa tujuan hidup adalah mencapai
kebajikan. Kebajikan itu akan terwujud apabila manusia dapat menyesuaikan diri
dengan alamnya, karena manusia adalah bagian dari alam. Sedangkan alam itu
sendiri dikuasai oleh budi Ilahi. Karena manusia merupakan bagian dari alam,
maka di dalamnya terkandung sebagian dari budi ilahi itu. Jadi tidak ada
perbedaan antara alam dengan Tuhan, dan alam adalah Tuhan dan Tuhan adalah
alam, yang disebut juga panteisme (pan: seluruh, semua; theos: Tuhan). Sehingga
hidup sesuai dengan alam berarti hidup sebagai manusia berakan dan berbudi.
Dengan
munculnya dua faham tersebut cita-cita atu tujuan Romawi berubah dari rnembentuk
manusia sehat kuat untuk membela tanah air (kebajikan kepahlawanan) menjadi
membentuk manusia yang bijaksana dan berakal budi (kebajikan
kemanusian/humanitas).
C. FILSUF
- FILSUF PENDIDIK YUNANI DAN ROMAWI
a.
Filsuf Yunani
1.
Pythagoras
(580-500 SM)
Tujuan pendidikan: membentuk manusia susila dan beragama. Beberapa
cita-cita yang menjadi dasar pendidikannya:
a) hanya
jiwa yang berharga, bukan badan;
b) jiwa
berasal dari dewa-dewa dan hidup terus jika badan telah mati;
c) sejak
kecil manusia mempunyai kecenderungan untuk berbuat jahat, pendidikan harus
membawa manusia ke arah kesempurnaan;
d) kesempurnaan
adalah kebajikan, yaitu keselarasan antara jiwa dan raga, harmoni dalam
hubungan antara manusia, harmoni pula dalam negara.
Untuk
melaksanakan cita-cita tersebut, ia mendirikan sebuah lembaga dengan nama
“Lembaga Pythagoras”. Anggotanya hidup bersama-sama dan patuh pada
aturan-aturan tertentu. Lembaga tersebut terdiri dari 3 bagian:
·
bagian 1: terdiri dari calon-calon anggota dalam
masa percobaan 3 tahun. Selama itu ia harus dapat mengatasi
penderitaan-penderitaan dan harus membuktikan kesanggupan dalam menempuh jalan
hidup yang saleh;
·
bagian 2: merupakan lanjutan dari bagian 1,
tetapi masih diasingkan dari anggota-anggota penuh, dan mendapat ajaran dari
Pythagoras sendiri;
·
bagian 3: terdiri dari anggota-anggota yang
dianggap sudah cukup memenuhi syarat, mendapat hak dan kepercayaan yang penuh,
mereka mendapat ajaran dari Pythagoras sendiri.
2.
Socrates (469-399 SM)
Merupakan tokoh yang melawan ajaran sofisme. Ia berpendapat bahwa yang
menjadi ukuran segala-galanya bukan manusia melainkan ke-Tuhanan (theosentris,
theo: Tuhan). Berlawanan dengan Pythagoras, Socrates percaya bahwa manusia
mempunyai pembawaan untuk berbuat baik. Socrates berpendapat bahwa ilmu adalah
sumber dari kebajikan, oleh karena itu ia dianggap perintis kaum Philantropin:
cinta pada sesama manusia.
Dalam pelaksanaan pengajarannya, dia melakukan dialog, percakapan, dan
tanya jawab dengan masyarakat di jalan-jalan, di taman, dan pasar. Socrates
selalu mengajarkan bahwa manusia itu berpengetahuan hanya dalam sangkaannya
saja, padahal yang sebenarnya mereka tidak tahu apa-apa, dan mereka akhirnya
sampai pada kesimpulan bahwa mereka hanya mengetahui satu hal, yaitu bahwa
mereka tidak tahu apa-apa. Dengan begitu maka pada diri manusia itu tumbuh
keinginan untuk mengetahui yang sebenarnya. Dengan jalan induksi, mereka dibawa
kepada ilmu yang sebenarnya (menarik kesimpulan sendiri). Beberapa jasa
Socrates:
a) pelopor
dari ilmu kesusilaan. Ia berpendapat bahwa filsafat merupakan alat untuk
mencapai kebajikan;
b) pelopor
dari ilmu mengenai pengertian-pengertian. Ia berusaha selalu mencari hakikat
dari benda-benda, yakni pengertian-pengertian;
c) Pythagoras
dan Socrates adalah peletak dasar paedagogik moral.
Pada
akhir hidupnya, Socrates dijatuhi hukuman minum racun oleh hakim, apabila ia
tidak bersedia menarik kembali ajarannya. Socrates dianggap telah merusak
akhlak pemuda, dan difitnah oleh kaum sofis telah mengajarkan dewa-dewa baru
dan membelakangi dewa-dewa resmi.
3.
Plato (427-347 SM)
Plato adalah murid Socrates. Ia adalah seorang bangsawan. Saat Socrates
dijatuhi hukuman minum racun Plato melarikan diri dan mendapat perlindungan
dari keluarganya.
Sistem pendidikan yang lengkap dan merupakan bagian dari ajaran
ketatanegaraan pertama disusun oleh Plato, ia adalah seorang pengarang pertama
di Yunani. Tujuan pendidikan menurut Plato adalah: membentuk warga negara
secara teoritis dan praktis. Setiap manusia bertugas untuk mengabdikan
kepentingannya kepada kepentingan negara. Oleh sebab itu pendidikan harus
diselenggarakan oleh negara dan untuk negara. Dengan prinsip tersebut Plato
disebut sebagai pencipta Pendidikan Sosial. Ia berpendapat bahwa
kesulitan-kesulitan politis dapat diatasi apabila ada keadilan. Keadilan akan
terwujud bila setiap orang melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Dengan demikian
tujuan pendidikan itu selanjutnya adalah untuk membentuk negara susila yang
berdasarkan keadilan (Lebih lanjut dapat dibaca dalam Achmadi, 1987).
Dalam pendidikan moral, Plato berpendapat bahwa anak-anak telah dapat
melakukan suatu perbuatan meskipun mereka belum sanggup menyadari atau
memahaminya. Sehingga pendidikan harus dimulai sejak kecil, yaitu dengan
pembiasaan dan kemudian pengajarannya.
Pengaruh plato sangat besar, misalnya dalam pemerintahan gereja abad
pertengahan. Meskipun dipengaruhi oleh bangsa Yahudi, namun pemerintahan gereja
sangat platonis.
4.
Aristoteles (384-322 SM)
Ia adalah murid dari Plato dan telah berguru selama 20 tahun. Bukunya
yang terkenal mengenai cita-cita pendidikan adalah: Politica dan Anima. Seperti
halnya dengan Plato, maka Aristoteles pun menghendaki pendidikan negara.
Cita-cita pendidikannya: kebajikan itu diperoleh dengan jalan aman,
melalui pengalaman, pembiasaan-pembiasaan, akal budi, dan pengertian. Pendidik
harus mempelajari dan memimpin pembawaan dan kecenderungan anak-anak. Dengan
latihan dan pembiasaan mereka diajar melakukan perbuatan yang baik dan
meninggalkan yang buruk. Menurutnya sumber pengetahuan adalah pengalaman, pengamatan,
yang menghasilkan bahan untuk berpikir. Dalam satu hal ia sefaham dengan J.
Locke, bahwa jiwa seseorang pada waktu dilahirkan tidak berisi apa-apa (tabula
rasa).
Pendidikan formal
menurutnya berakhir pada usia 21 tahun, dan periode ini terbagi menjadi 4
bagian:
a) pendidikan
sampai dengan usia 5 tahun;
b) pendidikan
sampai dengan usia 7 tahun;
c) pendidikan
sampai dengan usia pubertas;
d) pendidikan
sampai dengan usia 21 tahun.
Dalam
prinsipnya, sebelum usia 5 tahun, hendaknya pendidikan bersifat sewajarnya,
disesuaikan dengan keadaan anak. Membaca, menulis, ilmu hitung, gymnastic, dan
musik dianggap sebagai mata pelajaran untuk latihan kejiwaan. Gymnastic dan
musik adalah yang paling penting, sebab mempunyai akibat pembersihan jiwa, dan
nafsu-nafsu yang tidak baik dan mengembangkan perbuatan baik sesuai dengan
tuntunan moral. Menurut Aristoteles, karena pendidikan adalah soal universal,
maka pendidikan dilakukan oleh negara.
b.
Filsuf
Romawi
1.
Seneca (meninggal 65 SM)
Seneca merupakan tokoh pendidik lain di jaman Romawi baru. ia adalah
seorang kaisar Nero, juga seorang ahli filsafat dan moralis yang terkenal.
Beberapa petunjuk tentang pengajaran yang diberikan adalah:
a) Kita
mengajar tidak untuk sekolah, tetapi untuk kehidupan;
b) Panjang
jalan melalui perintah, singkat jalan melalui teladan;
c) Dengan
mengerjakan, kita menjadi paham.
2.
Quintilanus
Quintilanus adalah seorang profesor ilmu pidato yang terkenal. Ia adalah
seorang Spanyol yang tinggal di Roma. Ia menjadi terkenal karena menulis buku
“Instituo Oratorio” (pendidikan menjadi ahli pidato). Dia berpendapat bahwa
jika suatu saat seorang anak memperlihatkan kesalahan-kesalahannya, maka hal
itu adalah akibat dari pendidikan yang salah. Dalam hal ini ia sependapat
dengan JJ. Rousseau, bahwa semua manusia itu baik sejak lahir. Pendapatnya
tentang pendidikan:
a) pendidikan
harus diberikan secepatnya, sejak dari keluarga. Harus dicari pengasuh yang
berbudi baik dan berilmu dan dapat menjadi contoh. Sebab kesan pertama yang
diterima oleh anak berpengaruh besar sekali bagi perkembangan selanjutnya;
b) kelak
anak itu harus bersekolah, karena: di sana ia akan merasa lebih bebas, dapat
belajar banyak dari teman-temannya, dan ada suasana bersaing yang sehat.
c) Guru
harus dapat mempelajari sifat-sifat dan pembawaan masing-masing anak, agar
dapat mengembangkannya dengan baik;
d) Mengajar
hendaknya tidak terlalu cepat, anak ibarat botol yang kecil lehernya, jika
diisi terlalu banyak akan terbuang sia-sia;
e) Pelajaran
hendaknya diselingi dengan permainan, supaya guru dapat memperoleh pandangan
yang lebih baik tentang budi pekerti anak-anak;
f) Gaya
bahasa yang digunakan harus menarik perhatian anak-anak, lebih baik agak berani
dan banyak fantasi;
g) Teknik
mengajar harus lunak, tidak terlalu keras, tidak banyak mencela, tapi jangan
pernah pula terlalu banyak memuji. Tidak boleh memberi hukuman fisik, sebab
dengan memukul, jiwa anak akan rusak karena merasa malu;
h) Pada
pelajaran membaca, anak-anak diberi huruf dari gading, dan mereka disuruh
membuat bermacam kata dari huruf itu;
i) Pada
pelajaran menulis, sebuah meja dipahat huruf timbul dan mereka disuruh
mengikuti huruf-huruf itu.
j) Pada
pelajaran mengarang anak-anak harus mengarang seperti sedang bercakap-cakap.
Bahan dan bahasa dari pengalaman pribadi anak;
k) Quintillanus
menganggap daya ingat itu sangat penting, oleh sebab itu harus dilatih dengan
baik. Setiap hari anak harus menghafal di luart kepala hal-hal yang menarik,
sesudah itu hal-hal yang kurang menarik, mula-mula mekanis, sesudah itu logis.
l) Dalam
organisasi sekolah, sesudah sekolah permulaan yang memberikan
pelajaran-pelajaran pokok, anak kemudian mengunjungi sekolah menengah, di mana
diajarkan bahasa Yunani, baru kemudian bahasa Latin. Setelah itu pelajaran
dilanjutkan ke Sekolah Tinggi. Mata pelajaran yang diberikan adalah:
1) trivium:
gramatika (bahasa), filosofi, dan retorika;
2) quadrivium:
musik, geometri, arithmetika, dan astronomi. Ketujuh mata pelajaran tersebut
dinamai “Artes Liberalis yang tujuh”.
3) Teori
pengajaran Quantilianus telah memberikan lukisan tentang seluruh praktek pengajaran
di Roma pada jaman kaisar. Banyak teknik dan paham modern yang diselenggarakan
oleh Quantilianus, seperti papan meja, menuruti huruf timbul dengan jari,
mengarang seperti menulis tentang hal-hal yang dialami sendiri dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan
anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan
(Ngalim Purwanto, 2002:11). Rumusan tentang pendidikan, lebih jauh termuat dalam
UU. No. 20 Tahun 2003, bahwa pendidikan Indonesia bertujuan agar masyarakat
Indonesia mempunyai pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Artinya, arah dari proses pendidikan nasional mencakup berbagai aspek kehidupan
diri manusia dan masyarakat untuk survive dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Berbicara masalah pendidikan meliputi cakupan yang cukup luas, bahkan
dalam mendefinisikan pengertian pendidikan juga bervariasi. Ada yang
mengartikan pendidikan sebagai proses yang di dalamnya seseorang mengembangkan
kemampuan, sikap, dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya di lingkungan
masyarakat dimana ia berada. Pendidikan juga dapat diartikan sebagai proses
sosial, di mana seseorang dihadapkan pada kondisi dan pengaruh lingkungan yang
terpilih dan terkontrol (contoh paling nyata sekolah) sehingga yang
bersangkutan mengalami perkembangan secara optimal (Dictionary of Education dalam
T. Sulistyono, 2003).
Dari
beberapa definisi tersebut menunjukkan melihat pendidikan dari sudut pandang
yang berbeda. Yang pertama, melihat dari sudut pandang psikologis, dan yang
kedua dari sudut pandang sosiologis. Banyak sudut pandang untuk dapat
merumuskan pengertian pendidikan sehingga banyak juga definisi tentang
pendidikan. Namun demikian, yang jelas bahwa pendidikan adalah proses untuk
membina diri seseorang dan masyarakat agar dapat survive dalam menjalani
hidupnya.
Beberapa filosofi
– filosofi Yunani dan Romawi menjelaskan bahwa pendidikan
adalah proses untuk membina diri seseorang dan masyarakat agar dapat survive
dalam menjalani hidupnya, diantaranya
:
1. Pythagoras
2.
Socrates
3.
Plato
4.
Aristoteles
5.
Seneca
6. Quintilanus
2.
Saran
Dengan mempelajari pendidikan pada
zaman Romawi lama ini, kami menyarankan agar pendidikan anak pada saat ini
dimulai dari keluarga dan dilakukan oleh kedua orang tua. Sehingga pada usia
tujuh tahun sampai dua puluh tahun, anak-anak lebih siap dalam psikis maupun
fisik untuk bersosialisasi dengan lingkungannya. Selain mempelajari ilmu
matematika, botani, medis, geografi, storiografi, filologi dan astronomi,
anak-anak juga diarahkan untuk mengoptimalkan kemampuannya dalam berkomunikasi
di depan umum.
DAFTAR PUSTAKA
Paudfip.wordpress.com/2009/06/18
Guislay.wordpress.com